FIDA’AN: TRADISI TAHLILAN KAUM SUFI DAN PARA SADAT


Fida’ atau dengan istilah lain “Ataqah” adalah ungkapan umum untuk bacaan surat Al-Ikhlash yang diiringi dengan kalimah thayyibah seperti tasbih dan tahlil dengan jumlah bilangan tertentu dengan harapan agar orang yang membaca dan orang yang sudah meninggal dunia diberi ampunan oleh Allah serta dibebaskan dari api neraka.

Sama halnya dengan tradisi tahlilan, secara pelaksanaannya pun juga mengirimkan doa dan surat Al-Fatihah melalui pembacaan kalimah thayyibah. Namun yang membedakan adalah dalam dzikir fida’ ini terdapat beberapa bacaan, yakni kalimat tasbih sebanyak 1000 kali dan kalimat tahlil yang dibaca hingga 70.000 kali. Teknis pelaksanaannya pun sama dengan tahlilan yaitu dengan mengumpulkan masyarakat sekitar yang diiringi niat untuk menghadiahkan bacaan dan kalimah thayyibah kepada orang yang wafat.

Saat ini, amalan fida’ ini masih kita jumpai di tanah Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian barat yang masih memegang teguh tradisi para leluhur dan sangat kental dengan amalan tarekatnya. Pelaksanaannya pun sering kita temui saat menjelang malam ketujuh atau malam keseribu dari wafatnya seseorang, dan pelaksanaan rutin mingguannya dilaksanakan setelah ba’da maghrib pada malam jum’at di masjid-masjid setempat.

Amalan fida’ ini juga telah masyhur di kalangan para Sadat dan sufiyah. Sayyid Abu Bakar bin Ahmad bin Abdillah, seorang sadat yang hidup di permulaan abad ke-13 H dari Tarim Yaman yang terkenal sangat konsisten dalam memegang ajaran Rasulullah dan para salafusshalih, biasa mengamalkan bacaan dzikir fida’ ini dengan cara mengumpulkan orang untuk membaca tasbih 1.000 kali dan tahlil 70.000 kali yang dihadiahkan untuk orang yang wafat. Penduduk Tarim juga biasa menyisihkan sejumlah harta untuk keperluan pelaksanaan amalan tersebut sebagai wujud perhatian besar mereka supaya tradisi fida’an ini tetap dipertahankan.

Dalam riwayat shahih Muslim hadits ke-305 disebutkan:

Nabi saw bersabda ketika turun ayat “wa andir ‘asyiraatakal aqrabiin” (dan peringatkanlah kerabat dekatmu): “Hai orang-orang Quraisy !, belilah dirimu sendiri dari Allah swt, aku tidak bisa memenuhi sedikitpun (untuk menjauhkan) pada kalian dari (azab) Allah. Hai Bani Abdul Muthalib, aku tidak bisa memenuhi sedikitpun (untuk menjauhkan) pada kalian dari (azab) Allah. Hai ‘Abbas din Abdul Muthalib, aku tidak bisa memenuhi sedikitpun (untuk menjauhkan) padamu dari (azab) Allah. Hai Shofiyah bibi Rasulullah, aku tidak bisa memenuhi sedikitpun (untuk menjauhkan) padamu dari (azab) Allah. Hai Fatimah putri Rasulullah aku tidak bisa memenuhi sedikitpun (untuk menjauhkan) padamu dari (azab) Allah.

Maksud dari hadits diatas adalah menjelaskan anjuran Rasulullah kepada para sahabatnya untuk dapat membeli diri pada Allah swt, sebab nabi sendiri tidak mampu melindungi dari hal-hal yang tidak diinginkan oleh Allah swt. Adapun cara membebaskan diri sendiri ialah dengan meningkatkan iman dan menjelaskan segala apa yang diperintah Allah dan Rasulullah serta menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Imam Hasan berkata:

“Orang mukmin di dunia bagaikan tawanan yang beramal untuk memerdekakan dirinya”.

Lebih lanjut Abu Bakar bin ‘Iyasy (w. th 723 H) menjelaskan:

“Ketika aku masih muda, ada seorang laki-laki berkata padaku: ‘Bebaskan kebudakanmu di akhirat selagi kamu masih mampu di dunia, sebab sesungguhnya tawanan akhirat tidak akan bisa bebas selamanya’. Dari perkataan orang tersebut, sungguh demi Allah aku tidak pernah melupakannya. Kemudian Muhammad bin Hanifah (putra sayyidina Ali dari istrinya Hanifah) berkata: ‘Sesungguhnya Allah menjadikan surga sebagai harga jual untuk diri kalian. Maka janganlah kamu menjual diri kalian kepada selain surga’. Orang yang menganggap dirinya mulia, niscaya tidak bernilai atas dunia bagi dirinya”.

Maksud dari pernyataan diatas ialah seseorang mukmin selama masih hidup di dunia ibarat budak yang harus dibayar dengan amalnya agar bisa merdeka dari perbudakan di akhirat. Maka dari itu, para generasi salaf pada waktu itu menyedekahkan harta bendanya, bersungguh-sungguh beramal shaleh dan ada pula yang membaca tasbih sebanyak 12.000 kali dan lain sebagainya. Dan masih banyak lagi kalangan sufiyah yang berpendapat pentingnya mengamalkan dzikir fida’ ini. An-Najm al-Ghatiry (w. th 931 H), seorang pakar hadits dari Kairo mengatakan, meski dalil tentang dzikir fida’ statusnya dha’if, namun seyogyanya dilestarikan mengingat faidahnya yang begitu besar bagi yang mengamalkannya. Bahkan kelompok mutaakhirin mazhab Maliki menganjurkan dan menyunnahkan amalan fida’ dengan membaca Al-Ikhlash.

Tata cara pelaksanaan dzikir fida’ sama dengan pelaksanaan tahlil pada umumnya. Bacaan yang dibacanya pun hampir tidak ada bedanya dengan tradisi tahlilan, yakni membaca surat Al-Fatihah sebagai penghadiahan kepada si mayit, surat Al-Ikhlash, surat Mu’awwizatain, akhir surat Al-Baqarah, ayat kursi dan lain-lain. Yang membedakan ialah terletak pada bilangan yang dibaca pada masing-masing kalimah thayyibah dan diakhiri dengan doa wahbah (untuk doa wahbah dapat ditanyakan oleh masing-masing imam fida’ masing-masing atau ulama’-ulama’ tarekat yang lebih tahu tentang amalan fida’ ini). Jika fida’ sughra membaca tasbih 1000 kali dan tahlil 70.000 kali. Sedangkan fida’ kubra membaca surat al-Ikhlash sebanyak 100.000 kali.

Demikian penjelasan singkat mengenai amalan sufiyah ini. Mudah-mudahan dapat menjadi wawasan bagi kita untuk senantiasa meningkatkan kualitas dzikir kita kepada Allah swt.

Tahlil Fida’ 70.000 Kali Difatwakan Banyak Ulama

Muslimedianews.com ~ Di masa abad pertengahan Islam, kurang lebih antara tahun 400-1000 Hijriyah, amaliah Tahlil bagi umat Islam untuk keluarganya yang meninggal adalah tidak tanggung-tanggung, yaitu bacaan dzikir La ilaha illa Allah sebanyak 70.000 kali. Saat ini memang sudah tidak sebanyak itu, atau jarang ditemukan. Namun setidaknya amaliah Tahlil sudah berlangsung ratusan tahun silam, dan banyak sekali ulama yang mengamalkan atau paling tidak mereka tidak menyalahkan amaliah ini.

Akan tetapi, bagi yang Anti Tahlil (jumlahnya sedikit), mereka beramsumsi bahwa amaliah semacam ini berasal dari mimpi:

وَيَحْتَجُّونَ عَلَى فِعْلِ ذَلِكَ بِمَا حُكِيَ عَنْ بَعْضِ الشُّيُوخِ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ أَنَّهُ رَأَى فِي مَنَامِهِ بَعْضَ الْمَوْتَى فِي عَذَابٍ فَذَكَرَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ ثُمَّ أَهْدَاهَا لَهُ ، فَرَآهُ فِي مَنَامِهِ بَعْدَ ذَلِكَ فِي هَيْئَةٍ حَسَنَةٍ ، فَسَأَلَهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ غُفِرَ لَهُ بِإِهْدَائِهِ لَهُ ثَوَابَ السَّبْعِينَ أَلْفًا . وَهَذَا لَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ مِنْ وَجْهَيْنِ : أَحَدُهُمَا : أَنَّهُ مَنَامٌ ، وَالْمَنَامُ لَا يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ حُكْمٌ . وَالثَّانِي : أَنَّهُ إنَّمَا فَعَلَهَا وَحْدَهُ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ ، وَأَهْدَى لَهُ ثَوَابَهَا وَلَمْ يَجْمَعْ لِذَلِكَ النَّاسَ كَمَا يَفْعَلُونَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ الشُّهْرَةِ حَتَّى صَارَ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ أَمْرًا مَعْمُولًا بِهِ ، أَمَّا لَوْ فَعَلَ ذَلِكَ أَحَدٌ فِي خَاصَّةِ نَفْسِهِ وَأَهْدَى ثَوَابَهُ لِمَنْ شَاءَ فَلَا يُمْنَعُ ؛ لِأَنَّهُ قَدْ فَعَلَ خَيْرًا وَكَذَلِكَ يَحْذَرُ مِمَّا أَحْدَثَهُ بَعْضُهُمْ مِنْ تَرْكِ الْفُرُشِ الَّتِي تُجْعَلُ فِي بَيْتِ الْمَيِّتِ لِجُلُوسِ مَنْ يَأْتِي إلَى التَّعْزِيَةِ فَيَتْرُكُونَهَا كَذَلِكَ حَتَّى تَمْضِيَ سَبْعَةُ أَيَّامٍ ، ثُمَّ بَعْدَ ذَلِكَ يُزِيلُونَهَا . (المدخل الى مذهب أحمد لابن بدران - ج 3 / ص 446)
“Mereka berhujjah untuk melakukan Tahlil 70.000 dari sebagian guru generasi akhir, bahwa ia bermimpi melihat sebagian orang mati tengah disiksa, kemudian ia berdzikir La ilaha illa Allahu 70.000 kali lalu dihadiahkan kepadanya. Berikutnya ia bermimpi bertemu kembali dalam keadaan yang baik. Ia bertanya tentang kondisi itu, si mayit menjawab bahwa telah diampuni dosanya dengan hadiah pahala kepadanya sebanyak 70.000 kali. Hal ini bukanlah hukum karena dua faktor. Pertama, ini adalah mimpi, dan mimpi tidak berimplikasi pada hukum. Kedua, ini hanya perbuatan perorangan yang menghadiahkan pahalanya, bukan dalam bentuk mengumpulkan orang banyak, seperti yang dilakukan saat ini dan populer, hingga menjadi sebuah amaliah bagi mereka. Adapun jika ia melakukannya sendiri dan menghadiahkan kepada orang lain yang ia sukai, maka tidak ada halangan, sebab ia telah melakukan kebaikan” (al-Madkhal ila Madzhabi Ahmad, 3/446)

Kendati mimpi bukan sebuah hukum, setidaknya Islam melegalkan mimpi sebagai ‘al-Busyra’ atau kabar gembira bagi para kekasih Allah. Berikut adalah ayatnya:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آَمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآَخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [يونس/62-64]
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 62-64)

Apa yang dimaksud “al-Busyra” atau kabar gembira dalam ayat diatas? Tidak lain adalah “Mimpi yang baik” sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut:

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ قَوْلِهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى (لَهُمُ الْبُشْرَى فِى الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِى الآخِرَةِ) قَالَ هِىَ الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ يَرَاهَا الْمُسْلِمُ أَوْ تُرَى لَه (رواه احمد . تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره وهذا إسناد رجاله ثقات رجال الشيخين)
“Dari Ubadah bin Shamit, ia berkata: Saya bertanya kepada Nabi Saw tentang firman Allah: “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat”. Nabi menjawab: “Itu adalah mimpi yang baik, yang dilihat oleh orang Islam atau diperlihatkan kepadanya” (HR Ahmad, para perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim)

Bahkan para ulama yang lain tetap sependapat dengan Tahlilan seperti diatas, diantaranya:

- Fatwa Ibnu Taimiyah:

وَسُئِلَ عَمَّنْ هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ الْجَوَابُ فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مجموع فتاوى ابن تيمية – ج 5 / ص 471)
“Ibnu Taimiyah ditanya tentang orang yang Tahlil 70.000 kali dan menghadiahkan kepada mayit untuk membebaskannya dari neraka. Apakah ini hadis sahih? Dan jika seseorang membaca Tahlil dan menghadiahkan kepada mayit apakah pahalanya sampai atau tidak? Ibnu Taimiyah menjawab: Jika seseorang membaca Tahlil 70.000 kali, kurang atau lebih dan dihadiahkan kepada mayit, maka Allah akan memberi manfaat kepadanya dengan Tahlil tersebut. Ini bukan hadis sahih dan dlaif” (Majmu’ al-Fatawa 5/471)

- Amaliah Abu Zaid al-Qurthubi

وَقَالَ أَبُوْ الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ الْقَسْطَلَانِي سَمِعْتُ الشَّيْخَ أَبَا عَبْدِ اللهِ الْقُرَشِي يَقُوْلُ سَمِعْتُ أَبَا زَيْدٍ الْقُرْطُبِي يَقُوْلُ فِي بَعْضِ الْآثَارِ أَنَّ مَنْ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ سَبْعِيْنَ أَلْفَ مَرَّةٍ كَانَتْ فِدَاءَهُ مِنَ النَّارِ، فَعَمِلْتُ ذَلِكَ رَجَاءَ بَرَكَةِ الْوَعْدِ، فَفَعَلْتُ مِنْهَا لِأَهْلِي وَعَمِلْتُ أَعْمَالًا أِدَّخَرْتُهَا لِنَفْسِي (المستطرف في كل فن مستظرف - ج 1 / ص 483 شهاب الدين محمد بن أحمد أبي الفتح الأبشيهي دار الكتب العلمية - بيروت)
“Abu al-Abbas Ahmad al-Qasthalani berkata: Saya mendengar Syaikh Abu Abdillah al-Qurasyi berkata: Saya mendengar Abu Zaid al-Qurthubi (473 H) berkata dalam sebagian atsar, bahwa orang yang mengucapkan La ilaha illa Allah 70.000 kali, akan menjadi penebus baginya dari nereka. Saya mengamalkannya mengharap berkah janji. Kemudian saya mengamalkan sebagiannya untuk keluarga saya, dan saya mengamalkan beberapan amalan yang saya investasikan untuk saya sendiri” (Syihabuddin al-Absyihi dalam al-Mustathrif, 1/483)

- Wasiat Ibnu al-‘Arabi:

قال ابْنُ الْعَرَبِيِّ أُوصِيك بِالْمُحَافَظَةِ عَلَى شِرَاءِ نَفْسِك مِنْ اللَّهِ تَعَالَى بِأَنْ تَقُولَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفًا ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَعْتِقُك وَيَعْتِقُ مَنْ تَقُولُهَا عَنْهُ مِنْ النَّارِ وَرَدَ بِهِ خَبَرٌ نَبَوِيٌّ . (فيض القدير للمناوي – ج 6 / ص 245 ومنح الجليل شرح مختصر خليل لخليل بن اسحاق – ج 16 / ص 172)
“Ibnu al-Arabi berkata: Saya berwasiat kepadamu untuk terus ‘membeli dirimu’ dari Allah (dibebaskan dari siksa) dengan mengucapkan La ilaha illa Allahu, 70.000 kali, maka Allah akan membebaskanmu dan orang yang kau bacakan kalimat tersebut dari neraka, sebagaimana disampaikan dalam sebuah hadis” (Faidl al-Qadir 6/245 dan Minah al-Jalil, 16/172)

- Fatwa al-Qarafi al-Maliki:

قَالَ الرَّهُونِيُّ وَالتَّهْلِيلُ الَّذِي قَالَ فِيهِ الْقَرَافِيُّ يَنْبَغِي أَنْ يُعْمَلَ هُوَ فِدْيَةُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ سَبْعِينَ أَلْفِ مَرَّةٍ حَسْبَمَا ذَكَرَهُ السَّنُوسِيُّ وَغَيْرُهُ هَذَا الَّذِي فَهِمَهُ مِنْهُ الْأَئِمَّةُ (أنوار البروق في أنواع الفروق - ج 6 / ص 105)
“ar-Rahuni berkata: Tahlil yang dikatakan oleh al-Qarafi yang dianjurkan untuk diamalkan adalah doa fidyah La ilaha illa Allahu, sebanyak 70.000 kali. Terlebih disebutkan oleh as-Sanusi dan lainnya. Inilah yang difahami oleh para imam” (Anwar al-Buruq 6/105)

- Fatwa asy-Syarwani asy-Syafii:

( قَوْلُهُ لِمَحْضِ الذِّكْرِ ) أَيْ كَالتَّهْلِيلِ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ الْمَشْهُورُ بِالْعَتَاقَةِ الصُّغْرَى (حواشي الشرواني على تحفة المحتاج في شرح المنهاج للشرواني – ج 24 / ص 429)
“(Boleh mengupah orang untuk membaca al-Quran dan membaca dzikir murni) Yakni seperti Tahlil 70.000 kali yang populer dengan ‘pembebasan kecil’.” (Hasyiah ala Tuhfat al-Muhtaj, 24/429)

Oleh : Ustadz Muhammad Ma'ruf Khozin
SUMBER  (www.muslimedianews.com)

Fatwa Syaikh Syaukani Tentang Tahlilan


Syaikh Muhammad bin Ali asy-Syaukani (1173-1250 H / 1759-1834 M) adalah salah satu ulama besar di Yaman yang ahli fikih, hadis dan tafsir. Beliau termasuk ulama yang anti taklid dan menyeru pada ijtihad. Kendati seperti itu beliau memberi fatwa yang menjawab tradisi sosial seperti yang terjadi di Indonesia yakni Tahlilan, baik rangkaian berkumpulnya, ngaji Yasin bersama, menghadiahkan kepada orang yang wafat, dan sebagainya. Berikut kutipan lengkapnya:

الْعَادَةُ الْجَارِيَةُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ فِي الْمَسْجِدِ لِتِلاَوَةِ الْقُرْآنِ عَلَى اْلأَمْوَاتِ وَكَذَلِكَ فِي الْبُيُوْتِ وَسَائِرِ اْلاِجْتِمَاعَاتِ الَّتِي لَمْ تَرِدْ فِي الشَّرِيْعَةِ لاَ شَكَّ إِنْ كَانَتْ خَالِيَةُ عَنْ مَعْصِيَةٍ سَالِمَةً مِنَ الْمُنْكَرَاتِ فَهِيَ جَائِزَةٌ ِلأَنَّ اْلاِجْتِمَاعَ لَيْسَ بِمُحَرَّمٍ بِنَفْسِهِ لاَ سِيَّمَا إِذَا كَانَ لِتَحْصِيْلِ طَاعَةٍ كَالتِّلاَوَةِ وَنَحْوِهَا وَلاَ يُقْدَحُ فِي َذَلِكَ كَوْنُ تِلْكَ التِّلاَوَةِ مَجْعُوْلَةً لِلْمَيِّتِ فَقَدْ وَرَدَ جِنْسُ التِّلاَوَةِ مِنَ الْجَمَاعَةِ الْمُجْتَمِعِيْنَ كَمَا فِي حَدِيْثِ اقْرَأُوْا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ وَهُوَ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ وَلاَ فَرْقَ بَيْنَ تِلاَوَةِ يس مِنَ الْجَمَاعَةِ الْحَاضِرِيْنَ عِنْدَ الْمَيِّتِ أَوْ عَلَى قَبْرِهِ وَبَيْنَ تِلاَوَةِ جَمِيْعِ الْقُرْآنِ أَوْ بَعْضِهِ لِمَيِّتٍ فِي مَسْجِدِهِ أَوْ بَيْتِهِ اهـ (الرسائل السلفية للشيخ علي بن محمد الشوكاني ص : 46)
"Tradisi yang berlaku di sebagian negara dengan berkumpul di masjid untuk membaca al-Quran dan dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal, begitu pula perkumpulan di rumah-rumah, maupun perkumpulan lainnya yang tidak ada dalam syariah, tidak diragukan lagi apabila perkumpulan tersebut tidak mengandung maksiat dan kemungkaran, hukumnya adalah boleh.[1] Sebab pada dasarnya perkumpulannya sendiri tidak diharamkan, apalagi dilakukan untuk ibadah seperti membaca al-Quran dan sebagainya. Dan tidaklah dilarang menjadikan bacaan al-Quran itu untuk orang yang meninggal. Sebab membaca al-Quran secara berjamaah ada dasarnya seperti dalam hadis: Bacalah Yasin pada orang-orang yang meninggal. Ini adalah hadis sahih. Dan tidak ada bedanya antara membaca Yasin berjamaah di depan mayit atau di kuburannya, membaca seluruh al-Quran atau sebagiannya, untuk mayit di masjid atau di rumahnya" (Rasail al-Salafiyah, Syaikh Ali bin Muhammad as Syaukani, 46)

(Biografi asy-Syaukani)
الشوكاني، محمد بن علي (1173هـ ـ 1250هـ، 1759-1834م).

محمد بن علي بن محمد بن عبداللهلله الشوكاني اليمني. فقيه مجتهد من كبار علماء اليمن وصاحب كتاب نيل الأوطار، ولد ببلدة شوكان باليمن ونشأ في صنعاء، وتلقى العلم على شيوخها، وجد في طلبه فأكثر من المطالعة والحفظ والسماع، حتى صار عالمًا كبيرًا يشار إليه بالبنان، توافد عليه الطلاب من كل مكان. اشتغل بالقضاء والإفتاء وكان داعية إلى الإصلاح والتجديد، ترك التقليد وسلك طريق الاجتهاد بعد أن اجتمعت فيه شرائطه كاملة. ترك مؤلفات كثيرة تدل على سعة علمه وسلامة منهجه. كثر خصومه كما كثر المعجبون به بسبب دعوته إلى الاجتهاد والتجديد. توفي بصنعاء بعد عمر زاخر بالعطاء.

من مصنفاته: نيل الأوطار في الحديث؛ فتح القدير في التفسير، وهو متوسط الحجم محرر العبارة.

[1] Bahkan berkumpul semacam ini termasuk dalam sabda Rasulullah Saw: "Tidak ada sekelompok kaum pun yang berkumpul di rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya diantara mereka, kecuali ketenangan akan datang pada mereka, rahmat akan menyelimuti mereka, malaikat akan mengelilingi mereka dan Allah akan mmenyebutnya di dalam orang-orang dekatnya" (HR Muslim No 7028 dari Abu Hurairah)

0 Response to "FIDA’AN: TRADISI TAHLILAN KAUM SUFI DAN PARA SADAT"

Posting Komentar